Ibnul Qayyim dalam Miftah Daris Sa’adah berkata,
“Orang yang beribadah tanpa adanya ilmu bagai orang yang berjalan tanpa
penunutun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang demikian akan mendapatkan kesukaran
dan sulit untuk selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut
orang yang berakal, ia tetap saja tak terpuji bahkan pantas dapat celaan.”
Apa saja bekal ilmu menyambut Ramadhan yang
dimaksud?
Ilmu yang harus kita miliki adalah ilmu yang bisa
membuat ibadah puasa kita sah, tidak jadi sia-sia dan semakin membuat puasa
kita sempurna serta penuh makna.
1- Ilmu tentang Puasa
Puasa artinya menahan diri dari berbagai
pembatal puasa mulai dari terbitnya fajar Shubuh hingga tenggelamnya matahari
(waktu Maghrib).
Puasa ini diwajibkan bagi orang yang telah
baligh (ditandai dengan mimpi basah atau datang haidh pada wanita), berakal
(tidak gila), dalam keadaan sehat dan tidak sedang bersafar.
Bagi orang yang sakit dan musafir mendapatkan
keringanan tidak berpuasa dan mesti mengganti di hari lainnya (menunaikan
qadha’). Begitu pula untuk orang sepuh (tua renta) yang tidak kuat lagi untuk
berpuasa dan orang sakit menaun dan tak kunjung sembuh mendapat keringanan
tidak berpuasa. Sebagai gantinya adalah menunaikan fidyah, yaitu sehari tidak
berpuasa berarti menunaikan fidyah berupa satu bungkus makanan yang diberikan
pada orang miskin.
Wanita hamil dan menyusui pun mendapat
keringanan tidak berpuasa jika mereka merasa berat atau khawatir pada keadaan
diri atau bayinya. Sebagai Gantinya, wanita hamil dan menyusui tersebut mesti
menunaikan qadha’ di hari lain saat ia mampu. Karena keduanya lebih tepat
dimisalkan dengan wanita hamil dan menyusui bukan dengan oranr yang telah sepuh
yang hanya menunaikan fidyah.
Adapun yang termasuk pembatal puasa adalah
makan dan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, datang haidh dan nifas,
keluar mani saat bercumbu, dan berhubungan intim dengan sengaja.
Puasa tersebut dilakukan dengan berniat.
Maksud niat adalah keinginan atau mengetahui dalam hati akan melakukan suatu
ibadah, tanpa dilafazkan dengan uacapan niat tertentu. Niat itu pun harus ada
setiap malamnya. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda. “Siapa
saja yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka tidak ada puasa untuknya.”
(HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An Nasai, shahih).
Puasa yang sempurna dilakukan akan menggapai
derajat takwa sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelu kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183).
2-Ilmu tentang Amalan Sunnah Saat Puasa
Di antara amalan sunnah yang bisa dilakukan
adalah:
a- Makan sahur
Dalam hadits dari Anas disebutkan, “Makan
Sahurlah kalian karena dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (Muttafaqun
‘alaih). Waktu sahur disunnahkan untuk diakhirkan karena jarak makan sahur
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dengan waktu pengerjaan Shalat Shubuh
adalah sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (berarti: 10-15 menit) sebagaimana
diterangkan dalam hadits yang muttafaq ‘alaih. Dari hadits ini, Abu
Jamroh mengatakan bahwa makan sahur itu (disunnahkan) diakhirkan waktunya.
b- Berbuka Puasa
Jika azan Maghrib telah berkumandang, maka
diperintahkan untuk segera berbuka. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
besabda, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka
menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih). Disunnahkan berbuka ketika itu
dengan kurma. Jika tidak ada bisa diganti dengan makanan yang manis-manis
karena akan mengembalikan kekuatan orang yang telah berpuasa.
Saat kita mulai menyantap makanan berbuka,
tetap mengucapkan ‘bismillah’ sebagaimana adab yang diajarkan dalam Islam saat
makan. Setelah itu mengucapkan doa saat berbuka puasa, “Dzahabazh zhoma-u
wabtalatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah” (artinya: dahaga telah
hilang dan urat-urat leher telah basah dan pahala tetap ditetapkan insya
Allah).
(HR. Abu Daud, hasan)
c- Memberi makan berbuka puasa
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
bersabda, “Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala
seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu
sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, shahih).
d- Lebih banyak bersedekah dan beribadah di
bulan Ramadhan
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
termasuk yang begitu giat melakukan amalan kebaikan, juga sederhana di bulan
Ramadhan dibandingkan waktu lainnya.
Guru-guru dari Abu Bakr bin Maryam rahimahullah
pernah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, bersemangatlah untuk bersedekah.
Karena bersedekah di bulan tersebut lebih berlipat pahalanya seperti seseorang
sedekah di jalan Allah (fii sabilillah). Pahala bacaan tasbih (berdzikir
“subhanallah”) lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di bulan lainnya.” (Lihat
Lathoif Al Ma’arif, hal. 270).
e- Menggapai Lailatul Qadar, malam yang amalan
di dalamnya lebih baik daripada seribu bulan.
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan,
“Carilah lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan.” (HR. Bukhari). Untuk mudah meraihnya adalah dengan melakukan
i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di masjid, yaitu berdiam walau beberapa
waktu di masjid dalam rangka ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam
sendiri biasa melakukan i’tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan.
3- Ilmu tentang Shalat Tarawih
Shalat tarawih disunnahkan dilakukan secara
berjama’ah baik laki-laki dan perempuan. Keutamaannya di antaranya disebutkan
dalam hadits Abu Hurairah, “Siapa saja yang melakukan qiyam Ramadhan (shalat
tarawih) atas dasar iman dan mengharap padahal dari Allah, maka dosa-dosanya
yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih).
Shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam adalah 11 raka’at. Namun menurut mayoritas ulama, shalat
tarawih tidak dibatasi jumlah raka’atnya. Shalat tarawih boleh dikerjakan
dengan raka’at yang sedikit maupun banyak. Karena saat Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau tidak memberikan
batasan. Yang beliau katakan, “Shalat malam itu dua raka’at salam, dua
raka’at salam.” (Muttafaqun ‘alaih). Alasan lainnya, Umar bin
Khattab pernah memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk melaksanakan shalat tarawih
sebanyak 20 raka’at. Intinya, shalat tarawih boleh dilakukan dengan 11 raka’at
atau 23 raka’at asalkan shalat tersebut memiliki thuma’ninah, artinya
tidak ngebut atau tidak dengan kecepatan tinggi. Thuma’ninah itu adalah
bagian rukun shalat, yang jika tidak ada berarti shalat tidaklah sah.
4- Ilmu tentang Zakat Fithri
Zakat fithri adalah zakat yang dikeluarkan
menjelang Idul Fithri, paling cepat dua atau tiga hari sebelum Idul Fithri,
bukan dibayar di awal atau pertengahan bulan. Zakat fithri yang dikeluarkan
bentuknya adalah beras yang merupakan makanan pokok (bukan uang) dengan ukuran
satu sho’ (kisaran 2,1-3,0 kg). Zakat fithri ini disalurkan pada fakir miskin
dengan tujuan membahagiakan mereka pada hari raya dengan makanan dan untuk
menyucikan orang yang berpuasa. Waktu akhir penunaian zakat fithri adalah
sebelum shalat i’ed dilaksanakan.
Demikian sajian dari Muslim.or.id. Bahasan
selengkapnya bisa dikaji dari Buku Panduan Ramadhan karya penulis terbitan Pustaka
Muslim, cetakan keenam (2014) yang dibagikan secara gratis ke
tengah-tengah kaum muslimin.
No comments:
Post a Comment